Sunday, May 1, 2016

Debat PRO Euthanasia



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kematian, bagi sebagian besar umat manusia itu merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan dan mungkin tidak dikehendaki.Manusia sebagai salah satu ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena dilengkapi dengan akal, pikiran dan rasa. Dengan menggunakan akal dan pikirannya tersebut manusia mampu menciptakan teknologi untuk mempermudah dalam hal menjalankan aktifitasnya sehari-hari (Ni Made Puspasutari Ujianti, dkk., 2013:41), maka dari sinilah manusia terus-menerus  berusaha menunda kematian dengan berbagai cara, termasuk didalamnya temuan sains dan teknologi untuk menyembuhkan kesehatan manusia, tetapi sebaliknya, dengan adanya penemuan-penemuan sains dan teknologi tersebut, membawa suatu konsekuensi tertentu kepada ummat manusia seperti euthanasia. Padahal yang diharapkan manusia adalah sains dan teknologi memfasilitasi kehidupan manusia dengan berbagai kemajuannya. Dalam arti, pengembangan sains adalah manifestasi keinginanmanusia untuk maju dan juga berkembang menyempurnakan hidupnya, dan untuk memecahkan rahasia alam. Salah satu pengembangan sains yang membantu dan terkait langsung dengan kesehatan dan kehidupan manusia adalah teknologi kedokteran. Kehidupan, serta juga kematian manusia merupakan suatu hal yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam nilai-nilai moral manapun, hingga setiap perlakuan terhadapnya akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dari segi moral. Inilah dasar perkembangan rekayasa genetika dan bioetika atau bioteknologi sebagai suatu bidang ilmu yang kini dianggap menjadi disiplin tersendiri di dalam bidang kedokteran.
Kematian, pada umumnya dianggap sebagai suatu hal yang sangat menakutkan, namun akan dialami oleh setiap orang. Kematian merupakan suatu  proses yang tidak dapat ditunda, namun kebanyakan orang tidak menghendaki bila kematian itu datang dengan segera. Kebanyakan orang berharap agar kematian tidak muncul dengan tiba-tiba. Orang bukan hanya saja ngeri menghadapi kematian itu sendiri, namun jauh lebih dari itu, orang ngeri menghadapi keadaan setelah kematian terjadi. Tidak demikian halnya dengan orang yang telah putus asa menghadapi hidup karena penyakit yang diderita sangat menyiksanya. Mereka ingin segera mendapatkan kematian, dimana bagi mereka kematian bukan saja merupakan hal yang diharapkan, namun juga merupakan suatu hal yang dicari dan diidamkan. Terlepas daripada siap tidaknya mereka menghadapi kehidupan setelah kematian, mereka menginginkankematian segera tiba. Kematian yang diidamkan oleh pada penderita, sudah barang tentu, adalah kematian yang normal pada umumnya, jauh dari rasa sakit dan mengerikan. Kematian inilah yang dalam istilah medis disebut euthanasia yang mana dewasa ini diartikan dengan pembunuhan terhadap pasien yang tipis harapannya untuk dapat sembuh. Euthanasia sebenarnya bukanlah suatu persoalan yang baru. Bahkan euthanasia telah ada sejak dari zaman Yunani purba.Dari Yunanilah euthanasia  bergulir dan berkembang ke beberapa negara di dunia, baik itu di Benua Eropa sendiri, Amerika maupun di Asia. Euthanasia merupakan suatu persoalan yang cukup dilematik baik di kalangan dokter, praktisi hukum, maupun kalangan agamawan.
Pro kontra terhadap tindakan euthanasia hingga saat ini masih terus  berlangsung (Akh. Fauzi Aseri,1995:51). Mengingat euthanasia merupakan suatu persoalan yang rumit dan memerlukan kejelasan dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi umat Islam. Maka MUI dalam pengkajian yang diselenggarakan pada bulan Juni 1997 di Jakartayang menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan suatu tindakan bunuh diri (Forum Keadilan No. 4,29 April 2001:45). Secara logika berdasarkan konteks perkembangan ilmu pengetahuan, euthanasia tidak ada permasalahan karena hal ini merupakan suatu konsekuensi dari  proses penelitian dan juga pengembangan. Demikian juga, dipandang dari sudut kemanusiaan, euthanasia tampaknya merupakan perbuatan yang harus dipuji yaitu menolong sesama manusia dalam mengakhiri kesengsaraannya (Amri Amir, 1997:72)
Kesimpulan, berbagai argumentasi telah diberikan oleh para ahli  tentang eutanasia, baik yang mendukung maupun yang menolaknya. Untuk saat ini, pertanyaan moral masyarakat perlu dijawab “Apakah euthanasia secara moral diperbolehkan?”. Dan jenis euthanasia mana yang diperbolehkan?”. Pada kondisi yang bagai mana? Dan metode bagaimana yang tepat?




B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian euthanasia.
2.      Klasifikasi euthanasia.
3.      Kasus terkait euthanasia.
4.      Alasan-alasan PRO mengenai euthanasia.

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui definisi euthanasia.
2.      Untuk mengetahui klasifikasi/jenis euthanasia.
3.      Membahas kasus terkait euthanasia.
4.      Menjelaskan berbagai alasan PRO mengenai euthanasia.



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Definisi Euthanasia
Istilah Euthanasia berasal dari bahasa yunani “euthanathos”. Eu – artinya baik, tanpa penderitaan; sedangkan thanathos artinya mat atau kematian. Dengan demikian, secara etimologis, euthanasia dapat diartikan kematian yang baik atau mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada pula yang menejermahkan euthanasia secara etimologis adalah mati cepat tanpa penderitaan.
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai ‘kematian yang lembut dan nyaman; dilakukan, terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan.
Banyak ragam pengertian euthanasia yang sudah muncul saat ini. Ada yang menyebutkan bahwa euthanasia merupakan praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. Saat ini yang dimaksudkan dengan euthanasia adalah bahwa seorang dokter mengakhiri kehidupan pasien terminal dengan memberikan suntikan yang mematikan atas permintaan pasien itu sendiri, atau dengan kata lain euthanasia merupakan pembunuhan legal.
Belanda, salah satu Negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hokum kesehatan mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda) yaitu: Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri.

Pelaksanaan euthanasia yang dilihat dari sudut lain terdiri dari 4( empat ) kategori, yaitu :
1.      Tidak ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud  memperpendek hidup pasien 
2.      Ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup pasien 
3.      Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien
4.     
Ada bantuan dalam  proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien


2.      Jenis-Jenis Euthanasia
Tindakan euthanasia dikategorikan menjadi 2 :
A.    Euthanasia aktif
      Suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti : melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lain-lain. Yang termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini adalah : jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup. Tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan.

 

B.     Euthanasia pasif
       Suatu tindakan membiarkan pasien/penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah seperti : bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah terlalu tinggi, tidak berfungsinya jantung.



3.      Kasus Terkait Euthanasia

Kasus Ny Agian, RS Telah Lakukan Euthanasia Pasif

Jakarta - Masih ingat Ny Agian yang karena lama tidak sadarkan diri dari sakitnya membuat sang suami minta agar RS menyuntik mati saja (euthanasia), tapi ditolak? Menurut dr Marius Widjajarta, apa yang dilakukan RS terhadap Ny Agian sudah masuk kategori euthanasia pasif. "Sebenarnya pihak RS sudah melaksanakan euthanasia pasif. Kalau orang yang tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan tidak mau dirawat, itu sudah merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam hingga 12 tahun penjara" kata Marius dari Yayasan Konsumen Kesehatan Indonesia menjawab pertanyaan wartawan.Seperti diketahui, Ny Agian Isna Nauli (33) hingga kini dirawat di bagian stroke RSCM, Jakarta, setelah berbulan-bulan tidak sadarkan diri pasca melahirkan. Karena ketiadaan ongkos, suaminya (Hassan Kusuma) meminta RSCM menyuntik mati istrinya karena dirasa tidak ada harapan hidup normal kembali.Tapi RSCM menolak menyuntik mati Agian karena secara kedokteran tidak bisa dikatakan koma meskipun dia tidak bisa melakukan kontak. Dalam istilah kedokteran, pasien mengalami gangguan komplikasi, digolongkan sebagai stroke, sehingga tidak ada alasan untuk euthanasia.Selain itu, di Indonesia, euthanasia tidak dibenarkan dalam etika dokter juga dalam hukum."Jadi saya rasa, kalau pembiayaan kesehatan sudah ditanggung negara dengan disahkannya UU Sistem Jaminan Sosial, maka saya rasa kasus-kasus euthanasia tidak terulang lagi," sambung dr Marius.Bagaimana dengan permintaan euthanasia bukan alasan biaya, tapi karena tidak punya harapan hidup?"Karena itulah saya sudah menganjurkan pada pemerintah, profesi, ahli hukum, dan agama, kalau euthaniasi diatur lagi sesuai peraturan.Jangan seperti sekarang, boleh atau tidak boleh.Tetapi, harus ada jalan keluarnya bahwa pasien mempunyai hak untuk memilih," demikian dr Marius.

4.      Alasan PRO Terkait Kasus
Dari segi Agama, Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA). Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).

Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).

Tujuh alasan berbeda dapat diberikan untuk mendukung pembunuhan belas kasih. Alasan alasan itu meliputi (1) tesis filosofis bahwa setiap pribadi rasional mempunyai hak yang tak dapat dialihkan dan tak dapat dikurangi untuk membunuh dirinya; (2) anggapan mengenai kepemilikan yaitu bahwa kehidupan seseorang merupakan miliknya sendiri; (3) fakta materiil, yaitu bahwa sejumlah penyakit dirasakan membuat sangat menderita; (4) keputusan yang mengakibatkan sejumlah kehidupan, kendatipun bukan karena rasa sakit, tidak mempunyai arti; (5) pendapat bahwa ketergantungan pada perhatian orang-orang lain itu merendahkan dan tidak pantas; (6) gagasan bahwa tekhnik medis modern memaksa kita untuk menerima pembunuhan belas kasih dalam banyak kasus; dan (7) teori filosofis mengenai tindakan dan kelalaian.
             Secara spesifik alasan pro euthanasia aktif
a.       Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat. Maka seseorang mempunyai hak memilih cara kematiannya.
b.      Adanya hak ‘privacy’ yang secara legal melekat pada tiap orang. Maka seseorang berhak sesuai privacy-nya (band. Pro-choice dalam kasus Aborsi).
c.       Euthanasia adalah tindakan belas – kasihan/kemurahan pada si sakit. Maka tidak bertentangan dengan peri-kemanusiaan. Meringankan penderitaan sesama adalah tindakan kebajikan.
d.      Euthanasia adalah juga tindakan belas kasih pada keluarga. Bukan hanya si sakit yang menderita, tetapi juga keluarganya. Meringankan penderitaan si sakit berarti meringankan penderitaan keluarga khususnya penderitaan psikologis.
e.       Euthanasia mengurangi beban ekonomi keluarga. Dari pada membuang dana untuk usaha yang mungkin sia-sia, lebih baik uang dipakai untuk keluarga yang masih hidup.
f.       Euthanasia meringankan beban biaya sosial masyarakat, bukan hanya dari segi ekonomi tetapi juga beban sosial misalnya dengan mengurangi biaya perawatan mereka yang cacat secara permanen.
g.      Pada kasus Ny. Agian, secara tidak langsung Rumah Sakit tempat Ny.Agian dirawat sudah melakukan Euthanasia pasif, seperti masalah yang sedang dialami Ny.Agian adalah kekurangan biaya untuk pengobatan, jika Ny.Agian tidak dapat membeli obat yang sudah diresepkan dokter, itu artinya Ny.Agian tidak mendapatkan terapi yang sudah direncanakan, dan itu masuk ke dalam euthanasia pasif (sengaja tidak melanjutkan pengobatan atau pemberian terapi kepada pasien).





BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Euthanasia dapat di artikan mati dengan baik tanpa penderitaan atau mati dengan baik tanpa penderitaan atau mati cepat tanpa derita. Eutanasia biasanya diberikan suntikan mati, tetapi tidak semua yang menggunakan cara ini. Baik dari sisi keluarga atau saudara pasien yang terdekat juga pasrah dengan keadaannya.
Mengakhiri hidup tersebut dilakukan atas permintaan orang itu sendiri atau atas permintaan keluarganya yang berasa dibebani oleh keadaan yang menguras tenaga, pikiran, perasaan, dan keuangan. Tetapi tidak jarang juga pasien sendiri yang meminta untuk diakhiri hidupnya karena sudah tidak bisa menahan rasa sakit yang ia alami.
Ada beberapa negara yang menganggap eutanasia itu legal, tetapi tidak sedikit juga negara yang menganggap eutanasia itu melanggar hukum. Karena kita ketahui sendiri, euthanasia diperbolehkan karena menyangkut Hak Otonomi klien dan tidak melanggar Peri Kemanusiaan.
Secara logika berdasarkan konteks perkembangan ilmu pengetahuan, euthanasia tidak ada permasalahan karena hal ini merupakan suatu konsekuensi dari  proses penelitian dan juga pengembangan. Demikian juga, dipandang dari sudut kemanusiaan, euthanasia tampaknya merupakan perbuatan yang harus dipuji yaitu menolong sesama manusia dalam mengakhiri kesengsaraannya (Amri Amir, 1997:72)

2.      Saran    
     
U
ntuk makalah ini kami memberikan saran kepada pemberi layanan kesehatan khususnya para dokter yang melakukan tindakan medis untuk tidak melakukan Euthanasia, karena jika dilihat dari segi hak asasi manusia setiap orang berhak untuk hidup. Dan jika dilihat dari segi agama, yang mempunyai kuasa atas hidup manusia adalah Tuhan.



DAFTAR PUSTAKA


Teichman, Jenny. 1998. Etika Sosial.Yogyakarta : Kanisius
Brewer, C. 1992. Killing for kindness or killing for convenience?. Medical association new review
Dalami, Ermawati. 2010. Etika Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media.
Hanafiah, M.Jusuf. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC.
Chrisdiono, M. Achadiat. 2007. Dinamika etika dan hokum kedokteran dalam tantangan zaman. EGC.

Visobar Bankulon. 2008. Euthanasia; Sebuah Dilema Abu-Abu Dunia Kedokteran. http://www.inchrist.net/artikel/misi/euthanasia_sebuah_dilema_abuabu_dunia_kedokteran.

Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukum Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`, Al-Ijhadh, Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut: Darul Ummah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak).
Damaskus : Darul Fikr.

No comments:

 

Nursing Ethics Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Azis Kurniawan Image by Elsa Kim Andriyani