PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kematian, bagi sebagian
besar umat manusia itu merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan dan mungkin
tidak dikehendaki.Manusia sebagai salah satu ciptaan Tuhan yang paling sempurna
karena dilengkapi dengan akal, pikiran dan rasa. Dengan menggunakan akal dan
pikirannya tersebut manusia mampu menciptakan teknologi untuk mempermudah dalam
hal menjalankan aktifitasnya sehari-hari (Ni Made Puspasutari Ujianti, dkk.,
2013:41), maka dari sinilah manusia terus-menerus berusaha menunda
kematian dengan berbagai cara, termasuk didalamnya temuan sains dan teknologi
untuk menyembuhkan kesehatan manusia, tetapi sebaliknya, dengan adanya
penemuan-penemuan sains dan teknologi tersebut, membawa suatu konsekuensi
tertentu kepada ummat manusia seperti euthanasia. Padahal yang diharapkan
manusia adalah sains dan teknologi memfasilitasi kehidupan manusia dengan
berbagai kemajuannya. Dalam arti, pengembangan sains adalah manifestasi
keinginanmanusia untuk maju dan juga berkembang menyempurnakan hidupnya, dan
untuk memecahkan rahasia alam. Salah satu pengembangan sains yang membantu dan
terkait langsung dengan kesehatan dan kehidupan manusia adalah teknologi
kedokteran. Kehidupan, serta juga kematian manusia merupakan suatu hal yang
mempunyai kedudukan yang tinggi dalam nilai-nilai moral manapun, hingga setiap
perlakuan terhadapnya akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dari segi moral.
Inilah dasar perkembangan rekayasa genetika dan bioetika atau bioteknologi
sebagai suatu bidang ilmu yang kini dianggap menjadi disiplin tersendiri di
dalam bidang kedokteran.
Kematian, pada umumnya
dianggap sebagai suatu hal yang sangat menakutkan, namun akan dialami oleh
setiap orang. Kematian merupakan suatu proses yang tidak dapat ditunda,
namun kebanyakan orang tidak menghendaki bila kematian itu datang dengan
segera. Kebanyakan orang berharap agar kematian tidak muncul dengan tiba-tiba.
Orang bukan hanya saja ngeri menghadapi kematian itu sendiri, namun jauh lebih
dari itu, orang ngeri menghadapi keadaan setelah kematian terjadi. Tidak demikian
halnya dengan orang yang telah putus asa menghadapi hidup karena penyakit yang
diderita sangat menyiksanya. Mereka ingin segera mendapatkan kematian, dimana
bagi mereka kematian bukan saja merupakan hal yang diharapkan, namun juga
merupakan suatu hal yang dicari dan diidamkan. Terlepas daripada siap tidaknya
mereka menghadapi kehidupan setelah kematian, mereka menginginkankematian
segera tiba. Kematian yang diidamkan oleh pada penderita, sudah barang tentu,
adalah kematian yang normal pada umumnya, jauh dari rasa sakit dan mengerikan.
Kematian inilah yang dalam istilah medis disebut euthanasia yang mana dewasa
ini diartikan dengan pembunuhan terhadap pasien yang tipis harapannya untuk
dapat sembuh. Euthanasia sebenarnya bukanlah suatu persoalan yang baru. Bahkan
euthanasia telah ada sejak dari zaman Yunani purba.Dari Yunanilah euthanasia
bergulir dan berkembang ke beberapa negara di dunia, baik itu di Benua
Eropa sendiri, Amerika maupun di Asia. Euthanasia merupakan suatu persoalan
yang cukup dilematik baik di kalangan dokter, praktisi hukum, maupun kalangan
agamawan.
Pro
kontra terhadap tindakan euthanasia hingga saat ini masih terus
berlangsung (Akh. Fauzi Aseri,1995:51). Mengingat euthanasia merupakan
suatu persoalan yang rumit dan memerlukan kejelasan dalam kehidupan masyarakat,
khususnya bagi umat Islam. Maka MUI dalam pengkajian yang diselenggarakan pada
bulan Juni 1997 di Jakartayang menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan suatu
tindakan bunuh diri (Forum Keadilan No. 4,29 April 2001:45). Secara logika
berdasarkan konteks perkembangan ilmu pengetahuan, euthanasia tidak ada
permasalahan karena hal ini merupakan suatu konsekuensi dari proses
penelitian dan juga pengembangan. Demikian juga, dipandang dari sudut
kemanusiaan, euthanasia tampaknya merupakan perbuatan yang harus dipuji yaitu
menolong sesama manusia dalam mengakhiri kesengsaraannya (Amri Amir, 1997:72)
Kesimpulan,
berbagai argumentasi telah diberikan oleh para ahli tentang eutanasia, baik yang mendukung maupun
yang menolaknya. Untuk saat ini, pertanyaan moral masyarakat perlu dijawab
“Apakah euthanasia secara moral diperbolehkan?”. Dan jenis euthanasia mana yang
diperbolehkan?”. Pada kondisi yang bagai mana? Dan metode bagaimana yang tepat?
B.
Rumusan
Masalah
1. Pengertian
euthanasia.
2. Klasifikasi
euthanasia.
3. Kasus
terkait euthanasia.
4. Alasan-alasan
PRO mengenai euthanasia.
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui definisi euthanasia.
2. Untuk
mengetahui klasifikasi/jenis euthanasia.
3. Membahas
kasus terkait euthanasia.
4. Menjelaskan
berbagai alasan PRO mengenai euthanasia.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Euthanasia
Istilah
Euthanasia berasal dari bahasa yunani “euthanathos”.
Eu – artinya baik, tanpa penderitaan;
sedangkan thanathos artinya mat atau
kematian. Dengan demikian, secara etimologis, euthanasia dapat diartikan
kematian yang baik atau mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada pula yang
menejermahkan euthanasia secara etimologis adalah mati cepat tanpa penderitaan.
Euthanasia
dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai ‘kematian yang lembut dan
nyaman; dilakukan, terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak
tersembuhkan.
Banyak
ragam pengertian euthanasia yang sudah muncul saat ini. Ada yang menyebutkan
bahwa euthanasia merupakan praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan
melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa
sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang
mematikan. Saat ini yang dimaksudkan dengan euthanasia adalah bahwa seorang
dokter mengakhiri kehidupan pasien terminal dengan memberikan suntikan yang
mematikan atas permintaan pasien itu sendiri, atau dengan kata lain euthanasia
merupakan pembunuhan legal.
Belanda,
salah satu Negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hokum kesehatan
mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan
Dokter Belanda) yaitu: Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu
untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpanjang hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien
itu sendiri.
Pelaksanaan
euthanasia yang dilihat dari sudut lain terdiri dari 4( empat ) kategori, yaitu
:
1.
Tidak ada bantuan dalam proses kematian
tanpa maksud memperpendek hidup pasien 2. Ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup pasien
3. Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien
4. Ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien
Tindakan
euthanasia dikategorikan menjadi 2 :
A. Euthanasia aktifSuatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti : melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lain-lain. Yang termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini adalah : jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup. Tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan.
B. Euthanasia pasif
Suatu tindakan membiarkan pasien/penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah seperti : bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah terlalu tinggi, tidak berfungsinya jantung.
Kasus Ny Agian, RS Telah Lakukan Euthanasia Pasif
Jakarta - Masih ingat Ny Agian yang karena lama
tidak sadarkan diri dari sakitnya membuat sang suami minta agar RS menyuntik
mati saja (euthanasia), tapi ditolak? Menurut dr Marius Widjajarta, apa yang
dilakukan RS terhadap Ny Agian sudah masuk kategori euthanasia pasif.
"Sebenarnya pihak RS sudah melaksanakan euthanasia pasif. Kalau orang yang
tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan tidak mau dirawat, itu sudah
merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam hingga 12 tahun
penjara" kata Marius dari Yayasan Konsumen Kesehatan Indonesia menjawab
pertanyaan wartawan.Seperti diketahui, Ny Agian Isna Nauli (33) hingga kini
dirawat di bagian stroke RSCM, Jakarta, setelah berbulan-bulan tidak sadarkan
diri pasca melahirkan. Karena ketiadaan ongkos, suaminya (Hassan Kusuma)
meminta RSCM menyuntik mati istrinya karena dirasa tidak ada harapan hidup
normal kembali.Tapi RSCM menolak menyuntik mati Agian karena secara kedokteran
tidak bisa dikatakan koma meskipun dia tidak bisa melakukan kontak. Dalam istilah
kedokteran, pasien mengalami gangguan komplikasi, digolongkan sebagai stroke,
sehingga tidak ada alasan untuk euthanasia.Selain itu, di Indonesia, euthanasia
tidak dibenarkan dalam etika dokter juga dalam hukum."Jadi saya rasa,
kalau pembiayaan kesehatan sudah ditanggung negara dengan disahkannya UU Sistem
Jaminan Sosial, maka saya rasa kasus-kasus euthanasia tidak terulang
lagi," sambung dr Marius.Bagaimana dengan permintaan euthanasia bukan
alasan biaya, tapi karena tidak punya harapan hidup?"Karena itulah saya
sudah menganjurkan pada pemerintah, profesi, ahli hukum, dan agama, kalau
euthaniasi diatur lagi sesuai peraturan.Jangan seperti sekarang, boleh atau
tidak boleh.Tetapi, harus ada jalan keluarnya bahwa pasien mempunyai hak untuk
memilih," demikian dr Marius.
Dari segi Agama, Adapun hukum euthanasia pasif,
sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan
tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan
tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara
menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya
menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan
kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu
wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat.
Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah),
tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan
ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah
mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu
sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada
qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib),
tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa
Rasulullah SAW bersabda :“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali
menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!”
(HR Ahmad, dari Anas RA). Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW
memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu
hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan
kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab“Perintah itu pada asalnya
adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita
berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu
bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru
menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu
membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA,
bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu
berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering
tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!”
Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika
tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu
berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya
auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah
agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR
Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika
hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan
berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah
berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum
berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya
sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika
memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari
pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan
bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya,
maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat
bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu
tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan
wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi
kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih
bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien,
karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan
alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat
yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti
menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah
matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter.
Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat
dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai
tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan
adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang
ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai
wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil
Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Tujuh
alasan berbeda dapat diberikan untuk mendukung pembunuhan belas kasih. Alasan
alasan itu meliputi (1) tesis filosofis bahwa setiap pribadi rasional mempunyai
hak yang tak dapat dialihkan dan tak dapat dikurangi untuk membunuh dirinya;
(2) anggapan mengenai kepemilikan yaitu bahwa kehidupan seseorang merupakan
miliknya sendiri; (3) fakta materiil, yaitu bahwa sejumlah penyakit dirasakan
membuat sangat menderita; (4) keputusan yang mengakibatkan sejumlah kehidupan,
kendatipun bukan karena rasa sakit, tidak mempunyai arti; (5) pendapat bahwa
ketergantungan pada perhatian orang-orang lain itu merendahkan dan tidak
pantas; (6) gagasan bahwa tekhnik medis modern memaksa kita untuk menerima
pembunuhan belas kasih dalam banyak kasus; dan (7) teori filosofis mengenai
tindakan dan kelalaian.
Secara spesifik alasan pro
euthanasia aktif
a.
Adanya hak moral bagi
setiap orang untuk mati terhormat. Maka seseorang mempunyai hak memilih cara
kematiannya.
b.
Adanya hak ‘privacy’
yang secara legal melekat pada tiap orang. Maka seseorang berhak sesuai
privacy-nya (band. Pro-choice dalam kasus Aborsi).
c.
Euthanasia adalah
tindakan belas – kasihan/kemurahan pada si sakit. Maka tidak bertentangan
dengan peri-kemanusiaan. Meringankan penderitaan sesama adalah tindakan
kebajikan.
d.
Euthanasia adalah juga
tindakan belas kasih pada keluarga. Bukan hanya si sakit yang menderita, tetapi
juga keluarganya. Meringankan penderitaan si sakit berarti meringankan
penderitaan keluarga khususnya penderitaan psikologis.
e.
Euthanasia mengurangi
beban ekonomi keluarga. Dari pada membuang dana untuk usaha yang mungkin
sia-sia, lebih baik uang dipakai untuk keluarga yang masih hidup.
f.
Euthanasia meringankan
beban biaya sosial masyarakat, bukan hanya dari segi ekonomi tetapi juga beban
sosial misalnya dengan mengurangi biaya perawatan mereka yang cacat secara
permanen.
g.
Pada kasus Ny. Agian,
secara tidak langsung Rumah Sakit tempat Ny.Agian dirawat sudah melakukan
Euthanasia pasif, seperti masalah yang sedang dialami Ny.Agian adalah
kekurangan biaya untuk pengobatan, jika Ny.Agian tidak dapat membeli obat yang
sudah diresepkan dokter, itu artinya Ny.Agian tidak mendapatkan terapi yang
sudah direncanakan, dan itu masuk ke dalam euthanasia pasif (sengaja tidak
melanjutkan pengobatan atau pemberian terapi kepada pasien).
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Euthanasia dapat di artikan mati dengan baik tanpa
penderitaan atau mati dengan baik tanpa penderitaan atau mati cepat tanpa
derita.
Eutanasia biasanya diberikan suntikan mati, tetapi tidak semua yang menggunakan
cara ini. Baik dari sisi keluarga atau saudara pasien yang terdekat juga pasrah
dengan keadaannya.
Mengakhiri
hidup tersebut dilakukan atas permintaan orang itu sendiri atau atas permintaan
keluarganya yang berasa dibebani oleh keadaan yang menguras tenaga, pikiran,
perasaan, dan keuangan. Tetapi tidak jarang juga pasien
sendiri yang meminta untuk diakhiri hidupnya karena sudah tidak bisa menahan
rasa sakit yang ia alami.
Ada beberapa negara yang menganggap
eutanasia itu legal, tetapi tidak sedikit juga negara yang menganggap eutanasia
itu melanggar hukum. Karena kita ketahui sendiri, euthanasia diperbolehkan
karena menyangkut Hak Otonomi klien dan tidak melanggar Peri Kemanusiaan.
Secara logika berdasarkan konteks
perkembangan ilmu pengetahuan, euthanasia tidak ada permasalahan karena hal ini
merupakan suatu konsekuensi dari proses penelitian dan juga pengembangan.
Demikian juga, dipandang dari sudut kemanusiaan, euthanasia tampaknya merupakan
perbuatan yang harus dipuji yaitu menolong sesama manusia dalam mengakhiri
kesengsaraannya (Amri Amir, 1997:72)
Untuk makalah ini kami memberikan saran kepada pemberi layanan kesehatan khususnya para dokter yang melakukan tindakan medis untuk tidak melakukan Euthanasia, karena jika dilihat dari segi hak asasi manusia setiap orang berhak untuk hidup. Dan jika dilihat dari segi agama, yang mempunyai kuasa atas hidup manusia adalah Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Teichman,
Jenny. 1998. Etika Sosial.Yogyakarta
: Kanisius
Brewer,
C. 1992. Killing for kindness or killing
for convenience?. Medical association new review
Dalami, Ermawati. 2010. Etika Keperawatan. Jakarta: Trans Info
Media.
Hanafiah,
M.Jusuf. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan. Jakarta: EGC.
Chrisdiono,
M. Achadiat. 2007. Dinamika etika dan
hokum kedokteran dalam tantangan zaman. EGC.
Visobar Bankulon. 2008. Euthanasia; Sebuah Dilema Abu-Abu Dunia Kedokteran. http://www.inchrist.net/artikel/misi/euthanasia_sebuah_dilema_abuabu_dunia_kedokteran.
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukum Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql
A’dha`, Al-Ijhadh, Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa
al-Maut. Beirut: Darul Ummah.
Az-Zuhaili,
Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa
Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak).
Damaskus : Darul Fikr.
Damaskus : Darul Fikr.
No comments:
Post a Comment